Kisah bagus yg dpt mengingatkan kita
sbg seorang anak yg kadangkala
tidak menyadari apa yg shrsnya
dilakukan. Satu per satu anakku, setelah
menikah, pergi meninggalkanku. Sementara aku,
sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar
kami di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja
padaku, seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan
suamiku yang kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan
pesawat terbang.
Suamiku
sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya kepada
orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci rumah-rumah
itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah departemen
dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang mengharapkan
langkahnya tidak terhalang sebutir kerikil pun. Ia melakukannya
karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung
jawab.Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun.
Sehari sebelumnya ia sempat berbicara
kepadaku, telah merasa lengkap menjadi
ayah karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir,
besar, bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi,
bekerja, menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya,dan memiliki anak.
Ia dimakamkan di sebuah pemakaman luas
sesuai yang pernah ia pesankan.Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam
rumah kami. Menjelang jam tujuh pagi,
lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur,
membuatkan secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya
mendapat cerita ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku.
Maka tadi sore ia datang dan meminta aku tinggal di rumah besarnya
di Ciputat.
Berkali-kali aku menolak, tentu karena
aku merasa kasihan pada
mendiang suamiku, tapi ia tetap berkeras
seperti ayahnya. Ia
mengatakan akan lebih mudah baginya
untuk memantau dan mengurusku jika
aku tinggal bersamanya.
"Di
kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama.
Kalau tetap di sini Mama akan terus
bersedih. Biarlah rumah ini Suci
yang menjaga dan
mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi, dan Bang Ali."
Akhirnya aku menyetujui saja.Malam hari
aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara anak-anakku,
selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang.
Dan anakku yang nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi
pagi ketika aku masih mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika
aku sudah tertidur.Dalam seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau
tiga kali.
Bahkan bisa tidak sama sekali. Aku
sering mengingat masa ketika mereka
kecil. Waktu itu setiap hari aku bisa
bertemu mereka. Lalu ketika
mereka masuk perguruan tinggi dan
bekerja, aku pun mulai jarang
bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan
tinggal di rumah-rumah yang
diberikan suamiku, memiliki anak dan
sibuk dengan istri atau
suaminya,aku sudah tidak banyak berharap
mereka akan mudah kutemui.
Sekarang apa yang aku dapat?
Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi
hari pun tidak. Terlebih kata terima
kasih atas jerih-payahku melahirkan, mendidik,membesarkan, dan menyenangkan
mereka. Aku tidak bermaksud meminta balasan. Tetapi bagaimanapun
menurutku mereka seharusnya tahu diri dan tahu berterimakasih.
Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu mengajarkan
untuk tidak melupakan kebaikan seseorang.
Anakku yang nomor satu, hari ini
memutuskan mengirimku ke sebuah panti
jompo, setelah istri dan ketiga anaknya
sering mengeluhkan aku yang
selalu menangis tengah malam ketika aku
teringat suamiku, karena
katanya mengganggu tidur mereka. Dua
minggu lalu ia mengundang
adik-adiknya datang. Ketika semua
berkumpul, kecuali anakku yang nomor
empat yang tinggal di Australia, ia
memberitahukan keinginannya.
"Lagipula Mama tidak mungkin kita
biarkan kembali ke Tebet. Terlalu
banyak kenangan tentang Papa di sana
yang bisa membuat Mama sedih."
Dua bulan lagi umurku 68 tahun. Setelah satu
tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja anak-anakku
datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku
yang pernah delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir
pekan menjengukku.
Hari itu semua anakku datang bersama
suami, istri, dan anak-anak
mereka. Hanya yang nomor empat tidak
datang, karena katanya uang
jutaan rupiah untuk membeli tiket
pesawat bagi tiga orang ke Jakarta
lebih baik disimpannya di bank. Ia hanya
mengirim kartu Lebaran
disertai tulisan dan tanda tangannya.
Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi
ke rumah kekasihnya. Katanya
karena ia segan. Ingat, segan. Segan
bertemu neneknya. Padahal dahulu
aku yang sering membersihkan kotorannya
dan mengganti popok bila ia
datang ke rumahku bersama orangtuanya.
Lalu hingga kini tidak pernah
lagi mereka datang.Hanya anakku yang
nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku,
biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat,sejarah, sastra, agama,
sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.Setiap
pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari
pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti
di rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan.
Sarapan dan makan pun bebas memilih.
Anak-anak telah membayar sangat
tinggi untuk menitipkanku di sini. Aku
jadi teringat masa ketika
indekos ketika aku belajar psikologi.
Hanya kini aku tidak tinggal bersama
gadis-gadis cantik dan tidak
untuk menuntut ilmu apa-apa. Hanya
menunggu ajal.
Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun
dianjurkan berkumpul di
halaman depan untuk berolahraga. Cukup
tiga puluh menit sekadar untuk
meregangkan otot-otot tua kami. Setelah
itu kami diminta untuk
membersihkan diri,mandi pagi lagi kalau
mau. Pukul 08.00 biasanya kami
akan berkumpul di ruang makan untuk
sarapan. Mereka yang bangun
terlambat dan tidak ingin berolahraga
dan tidak ingin sarapan di ruang
makan, bisa meminta petugas mengantarkan
sarapannya ke kamar.
Setelah itu hingga pukul 16.00 kami
dipersilakan melakukan kegiatan
apa saja sesuai keinginan: merajut,
melukis, menulis surat untuk
anak-anak kami, bermain catur, berkebun,
membaca, menonton
TV,mendengar radio, berbincang-bincang
dengan teman-teman lain, atau
tidur siang.Dan setiap pukul 16.30 kami
biasanya akan duduk-duduk di
teras panti sambil menikmati secangkir
teh manis dan kue-kue kecil.
Setelah itu kami diminta untuk mandi
sore. Pukul 19.00 kami kembali
berkumpul di ruang makan. Malam ini aku
menikmati segelas air teh
manis hangat, nasi putih, perkedel
kentang, dan semur ikan bandeng
dengan kuah kental kesukaanku. Hari ini
tepat tiga tahun aku masuk
panti.Aku, karena sejak muda mempunyai
kegemaran membaca, setiap hari selalu hanya
membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid perempuan,
dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah kulewatkan,
juga buku-buku di perpustakaan. Selama lima tahun di sini,aku sudah membaca
semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan lainnya
kiriman anakku yang nomor satu.
Hari ini aku membaca sebuah buku
filsafat. Sudah dua hari aku
membacanya,dan tampaknya hari ini pun
belum akan selesai. Padahal
ketika muda dahulu satu buku tebal
kubaca hanya dalam waktu satu hari,
dan buku sedang cukup setengah hari
saja. Setelah tua aku menjadi
mudah letih dan mengantuk. Kemarin aku
sulit sekali meneruskan buku
itu. Aku tiba-tiba saja kembali
memikirkan suamiku dan juga umurku yang
sudah semakin tua. Aku tahu aku
tidak akan lama lagi di sini. Teman-teman sebayaku semasa di perguruan
tinggi, sudah banyak yang tiada.
Dulu aku memiliki ratusan buku yang
kubeli sejak umurku belasan tahun.
Sebelum tinggal di sini, aku ingat
jumlahnya sekitar 524 buah.
Tersimpan rapi di perpustakaan pribadi
di rumahku. Aku percaya anakku
yang nomor tujuh akan menjaga buku-buku
itu. Kebetulan ia mempunyai
kegemaran yang sama denganku, meski
sebenarnya keenam anakku yang
lain, serta suamiku, juga memiliki
kegemaran yang sama. Hanya saja
karena ia yang paling banyak
menghabiskan waktu bersamaku maka aku
percaya ia akan menjaganya. Ketika masih
tinggal bersamaku hampir
setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke
toko buku, membeli buku-buku
kegemaranku. Kebetulan aku paling
menyukai buku psikologi, karena ilmu
itulah yang mampu membuatku tertarik masuk kesebuah
fakultas hingga menyelesaikannya.
Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak
melakukannya. Meski
berkeinginan, namun semuanya kini hanya
ada di dalam angan-angan dan
kenangan-kenanganku.Untunglah anakku
yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku kegemaranku
terbaru.Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan
panti yang hanya beberapa puluh saja. Ketika minggu kedua tinggal
di sini pernah kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab,
"Uang
panti tidak cukup, Nyonya."
"Bukankah anak-anak kami sudah
membayar sangat tinggi untuk menitipkan
kami di
sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan
uang ketua yayasan yang mengatur.
Lagipula Bapak pernah mengatakan
orang-orang tua di sini tidak terlalu
suka membaca."
"Begitu?
Bagaimana dia tahu?"
"Bapak
memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapak
tidak hanya
panti ini."
"Saya
punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya?"
"Dengan senang hati, Nyonya.
Tetapi
ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di
telepon ia mengatakan buku-buku itu
terlalu berharga karena ada yang
sudah berumur puluhan tahun dan sudah
tidak beredar di pasaran. Ketika
kukatakan buku-buku itu akan lebih
berharga jika dibaca orang lain, ia
tetap tidak memperbolehkannya. Katanya
karena ia membaca pula
buku-buku itu. "Lagipula anggaplah
sebagai warisan yang Mama berikan
untukku."Anak-anakku, mereka tidak
pernah puas hanya menerima.
Dua
hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini.
Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada
satu pun datang atau sekedar
menelepon. Hanya datang si Tar, si Mi,
si Ali, serta keponakan suamiku
yang pernah delapan tahun tinggal
bersamaku.
Baru hari ini anakku yang nomor satu
mengirim kado berisi selimut
tebal dan kartu ucapan buatan pabrik.
Kado itu diantar seorang
sopirnya. Ingat, sopir. Dia
tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk bekerja. Ingat,sibuk.Sekali lagi
ingat, sibuk.
Padahal dahulu ketika masih tinggal
bersamaku,aku selalu menyiapkan masakan
istimewa buatanku di hari ulang tahun
mereka dan merayakannya
bersama-sama.Bila tahu akan seperti ini,
demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan mereka.
Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka..........
(dapat dari seseorang)