Selasa, 18 Desember 2012

Renungan Sejenak


          Kisah bagus yg dpt mengingatkan kita sbg seorang anak yg kadangkala
tidak menyadari apa yg shrsnya dilakukan. Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi meninggalkanku. Sementara aku, sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar kami di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja padaku, seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan suamiku yang kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.
          Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya kepada orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci rumah-rumah itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang mengharapkan langkahnya tidak terhalang sebutir kerikil pun. Ia melakukannya karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung jawab.Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun. Sehari sebelumnya ia sempat berbicara kepadaku, telah merasa lengkap menjadi ayah karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir, besar, bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja, menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya,dan memiliki anak. Ia dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang pernah ia pesankan.Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah kami. Menjelang jam tujuh pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur, membuatkan secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya mendapat cerita ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku. Maka tadi sore ia datang dan meminta aku tinggal di rumah besarnya di Ciputat.
Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa kasihan pada
mendiang suamiku, tapi ia tetap berkeras seperti ayahnya. Ia
mengatakan akan lebih mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika
aku tinggal bersamanya.

"Di kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama.
Kalau tetap di sini Mama akan terus bersedih. Biarlah rumah ini Suci
yang menjaga dan mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi, dan Bang Ali."
Akhirnya aku menyetujui saja.Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara anak-anakku, selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang. Dan anakku yang nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika aku masih mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika aku sudah tertidur.Dalam seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau tiga kali.
Bahkan bisa tidak sama sekali. Aku sering mengingat masa ketika mereka
kecil. Waktu itu setiap hari aku bisa bertemu mereka. Lalu ketika
mereka masuk perguruan tinggi dan bekerja, aku pun mulai jarang
bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan tinggal di rumah-rumah yang
diberikan suamiku, memiliki anak dan sibuk dengan istri atau
suaminya,aku sudah tidak banyak berharap mereka akan mudah kutemui.
Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi hari pun tidak. Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku melahirkan, mendidik,membesarkan, dan menyenangkan mereka. Aku tidak bermaksud meminta balasan. Tetapi bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri dan tahu berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu mengajarkan untuk tidak melupakan kebaikan seseorang.
Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan mengirimku ke sebuah panti
jompo, setelah istri dan ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang
selalu menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku, karena
katanya mengganggu tidur mereka. Dua minggu lalu ia mengundang
adik-adiknya datang. Ketika semua berkumpul, kecuali anakku yang nomor
empat yang tinggal di Australia, ia memberitahukan keinginannya.
"Lagipula Mama tidak mungkin kita biarkan kembali ke Tebet. Terlalu
banyak kenangan tentang Papa di sana yang bisa membuat Mama sedih."

Dua bulan lagi umurku 68 tahun. Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja anak-anakku datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang pernah delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir pekan menjengukku.
Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri, dan anak-anak
mereka. Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya uang
jutaan rupiah untuk membeli tiket pesawat bagi tiga orang ke Jakarta
lebih baik disimpannya di bank. Ia hanya mengirim kartu Lebaran
disertai tulisan dan tanda tangannya.
Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah kekasihnya. Katanya
karena ia segan. Ingat, segan. Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu
aku yang sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok bila ia
datang ke rumahku bersama orangtuanya. Lalu hingga kini tidak pernah
lagi mereka datang.Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku, biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat,sejarah, sastra, agama, sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti di rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan.
Sarapan dan makan pun bebas memilih. Anak-anak telah membayar sangat
tinggi untuk menitipkanku di sini. Aku jadi teringat masa ketika
indekos ketika aku belajar psikologi.
Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis cantik dan tidak
untuk menuntut ilmu apa-apa. Hanya menunggu ajal.
Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan berkumpul di
halaman depan untuk berolahraga. Cukup tiga puluh menit sekadar untuk
meregangkan otot-otot tua kami. Setelah itu kami diminta untuk
membersihkan diri,mandi pagi lagi kalau mau. Pukul 08.00 biasanya kami
akan berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Mereka yang bangun
terlambat dan tidak ingin berolahraga dan tidak ingin sarapan di ruang
makan, bisa meminta petugas mengantarkan sarapannya ke kamar.
Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan melakukan kegiatan
apa saja sesuai keinginan: merajut, melukis, menulis surat untuk
anak-anak kami, bermain catur, berkebun, membaca, menonton
TV,mendengar radio, berbincang-bincang dengan teman-teman lain, atau
tidur siang.Dan setiap pukul 16.30 kami biasanya akan duduk-duduk di
teras panti sambil menikmati secangkir teh manis dan kue-kue kecil.
Setelah itu kami diminta untuk mandi sore. Pukul 19.00 kami kembali
berkumpul di ruang makan. Malam ini aku menikmati segelas air teh
manis hangat, nasi putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng
dengan kuah kental kesukaanku. Hari ini tepat tiga tahun aku masuk
panti.Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca, setiap hari selalu hanya membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid perempuan, dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah kulewatkan, juga buku-buku di perpustakaan. Selama lima tahun di sini,aku sudah membaca semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan lainnya kiriman anakku yang nomor satu.
Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua hari aku
membacanya,dan tampaknya hari ini pun belum akan selesai. Padahal
ketika muda dahulu satu buku tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari,
dan buku sedang cukup setengah hari saja. Setelah tua aku menjadi
mudah letih dan mengantuk. Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku
itu. Aku tiba-tiba saja kembali memikirkan suamiku dan juga umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku tidak akan lama lagi di sini. Teman-teman sebayaku semasa di perguruan tinggi, sudah banyak yang tiada.
Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak umurku belasan tahun.
Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar 524 buah.
Tersimpan rapi di perpustakaan pribadi di rumahku. Aku percaya anakku
yang nomor tujuh akan menjaga buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai
kegemaran yang sama denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang
lain, serta suamiku, juga memiliki kegemaran yang sama. Hanya saja
karena ia yang paling banyak menghabiskan waktu bersamaku maka aku
percaya ia akan menjaganya. Ketika masih tinggal bersamaku hampir
setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke toko buku, membeli buku-buku
kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai buku psikologi, karena ilmu itulah yang mampu membuatku tertarik masuk kesebuah fakultas hingga menyelesaikannya.
Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak melakukannya. Meski
berkeinginan, namun semuanya kini hanya ada di dalam angan-angan dan
kenangan-kenanganku.Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku kegemaranku terbaru.Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan panti yang hanya beberapa puluh saja. Ketika minggu kedua tinggal di sini pernah kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab,
"Uang panti tidak cukup, Nyonya."
"Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat tinggi untuk menitipkan
kami di sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua yayasan yang mengatur.
Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di sini tidak terlalu
suka membaca."
"Begitu? Bagaimana dia tahu?"
"Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapak
tidak hanya panti ini."
"Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya?"
"Dengan senang hati, Nyonya.

Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di
telepon ia mengatakan buku-buku itu terlalu berharga karena ada yang
sudah berumur puluhan tahun dan sudah tidak beredar di pasaran. Ketika
kukatakan buku-buku itu akan lebih berharga jika dibaca orang lain, ia
tetap tidak memperbolehkannya. Katanya karena ia membaca pula
buku-buku itu. "Lagipula anggaplah sebagai warisan yang Mama berikan
untukku."Anak-anakku, mereka tidak pernah puas hanya menerima.

Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini.
Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun datang atau sekedar
menelepon. Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku
yang pernah delapan tahun tinggal bersamaku.
Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado berisi selimut
tebal dan kartu ucapan buatan pabrik. Kado itu diantar seorang
sopirnya. Ingat, sopir. Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk bekerja. Ingat,sibuk.Sekali lagi ingat, sibuk.
Padahal dahulu ketika masih tinggal bersamaku,aku selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di hari ulang tahun mereka dan merayakannya
bersama-sama.Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan mereka. Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka..........



(dapat dari seseorang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar